Ada sebuah pertanyaan besar di negeri kita ini yang sampai sekarang
masih selalu muncul dan terdengar di telinga setiap orang. Benarkah
Indonesia mengalami krisis energi? Indonesia merupakan negeri yang kaya
akan sumber daya alam (energi), sehingga masyarakat sesungguhnya tidak
perlu “bekerja keras” dalam mengeksplorasi sumber daya alam tersebut.
Menurut Direktur Eksekutif Central Study 164, Abdul Ghopur,
mengatakan bahwa Indonesia mengalami krisis energi karena kekayaan
alamnya tidak dikelola dengan bijak, berkeadilan dan terpadu. Kebijakan
energi nasional dikelola tanpa arah, antara satu sektor kebijakan dengan
sektor lainnya seolah tidak ada keterkaitan, menyebabkan kekayaan alam
ini menjadi kutukan sumber daya alam (Resources Curse).
Belum adanya payung hukum (undang-undang induk energi)
yang bisa mengatur kebijakan pengelolaan energi nasional secara
komprehensif sehingga tidak semua masyarakat bisa mengeksplorasi secara
langsung sumber-sumber energi. Hanya kelompok tertentu saja yang secara
mudah bahkan tanpa proses birokrasi yang rumit dapat mengeksplorasi
sumber-sumber energi dan dieksploitasinya demi keuntungan pribadi.
Energi bagi sebagian elit pengusaha dan pemerintah dipandang hanya
sebatas angka-angka dan barang dagangan yang memberikan keuntungan
lebih. Sedangkan bagi rakyat awam/ miskin energi merupakan sumber
penghidupan utama yang wajib dipenuhi.
UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi telah meliberalisasi
seluruh kegiatan usaha migas. Mulai dari sektor hulu hingga hilir
membuat banyak perusahaan asing menanamkan modalnya di Indonesia dalam
jumlah yang besar. Hampir 90% produksi minyak bumi di Indonesia dikuasai
korporasi asing, yakni Total, Exxon Mobil, Vico, ConocoPhillips, BP,
Petrochina, Chevron, dan korporasi lainnya.
Kesalahan pandangan pemerintah tentang kepemilikan liberal
menyebabkan negara ini kian terpuruk dengan kebijakan-kebijakannya yang
pro swasta/ asing. Pemerintah memahami bahwa kekayaan alam Indonesia
tidak terkecuali migas adalah komoditas yang bisa dimiliki oleh siapa
pun yang mampu (memiliki modal) untuk mengelolanya. Padahal, kekayaan
yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah milik rakyat.
Disamping pengelolaan yang kurang tepat, pemerintah dinilai telah
lalai dalam menghadapi kebijakan energi nasional, sehingga menyebabkan
krisis energi di Indonesia. Demikian disampaikan oleh Anggota Komisi VII
dari Fraksi Partai Amanat Nasional Catur Sapto Edy kepada wartawan
dalam jumpa pers di Gedung MPR-DPR Senayan, Jakarta. Jika memang tidak
lalai, pemerintah seharusnya telah membentuk dewan energi nasional yang
akan mengurus seluruh kebijakan energi, tentunya dengan payung hukum UU
energi. Sehingga pemerintah tidak perlu repot memikirkan harga minyak
mentah di pasar dunia yang terus melambung.”DPR sudah mengesahkan UU
energi pada 2007. Seharusnya dalam waktu enam bulan pemerintah telah
membentuk dewan energi, tapi nyatanya sampai saat ini belum ada.”
Berangkat dari pemikiran tersebut di atas, maka perlu dicarikan
solusi konkret untuk menangani persoalan-persoalan tersebut. Sebab,
krisis energi masih merupakan persoalan mendasar bangsa ini. Model
pengelolaan energi tidak bisa lagi serampangan dan ngawur seperti saat
ini.
Pemerintah harus benar-benar memprioritaskan pengelolaan energi
nasional khususnya bagi rakyat kecil. Pemerintah harus berani
menegosiasikan ulang kontrak-kontrak migas terhadap kepentingan pemodal
asing yang didukung oleh negara-negara Kapitalis yang merugikan bangsa
ini. Politik energi nasional saat ini harus dikendalikan oleh pemerintah
Indonesia secara penuh dan berdaulat atau bahkan dengan kepemimpinan
yang berani mengadakan suatu “Nasionalisasi Industri” di
negeri Indonesia ini. Sehingga industri asing yang menguasai
sumber-sumber energi diambil alih seluruhnya oleh negara, seperti yang
dilakukan oleh negara Bolivia, Columbia, dll. Negara diharuskan
mengelola kekayaan alam negeri ini sebaik-baiknya dan 100% hasilnya
dikembalikan kepada rakyat. Bila negara belum mampu secara mandiri
mengelolanya maka negara boleh menyewa tenaga asing. Namun, kontrak yang
ada bukanlah Production Sharing Contract seperti saat ini,
namun tenaga ahli di sini adalah sebagai pekerja. Mereka tidak
mendapatkan hasil pengelolaan (migas dan barang tambang lain). Namun,
digaji oleh pemerintah atas pekerjaanya. Jadi, 100% hasil pengelolaan
SDA dikembalikan kepada masyarakat. Mekanisme kepemilikan yang benar ini
tidak ada dalam paradigma kapitalis yang digunakan oleh pemerintah
sekarang ini.
Sedangkan selama ini pemerintah begitu gegabah dan ugal-ugalan
mengelola permasalahan energi. Sumber daya alam dikelola secara zig-zag.
Sumber dan hasil energi seenaknya dijual pemerintah untuk penyediaan
energi dunia. Sementara kondisi penyediaan energi di dalam negeri belum
mampu diberikan secara lebih baik. Kebijakan terus bergulir, politik
tetap menari liar, sementara rakyat miskin masih tak pernah merasakan
nikmatnya kekayaan alam negerinya. Arah yang tidak jelas dalam
perjalanan politik energi negeri ini telah menyisakan krisis energi di
masa kini dan mendatang.
Dalam penyelesaian krisis energi di negeri ini diperlukan suatu
konsep keterlibatan dan penyelamatan. Konsep ini dapat dikelompokkan
menjadi tiga macam pilar yang terlibat yaitu: 1) Pilar pemerintah negara
Indonesia; 2) pilar industri; 3) pilar warga negara dengan
menitikberatkan kepada mahasiswa. Meskipun belum dinyatakan secara
eksplisit keterlibatan peran dan tanggung jawab dari ketiga pihak
tersebut, ketiga pihak ini yang selama ini berperan besar terhadap
krisis energi yang terjadi. Oleh karena itu, harus diciptakan sebuah
mekanisme yang dapat menjamin lancarnya kerjasama antar pihak untuk
menyelamatkan dunia dari ancaman krisis energi.
Masalah krisis energi tidak dapat diselesaikan, jika masing-masing
pihak mencoba mencari jalan keluarnya sendiri-sendiri. Contoh yang
paling mudah adalah warga negara tidak akan bersedia menjalankan
perilaku hemat energi, jika pemerintahnya tidak membuat kebijakan yang
berkaitan dengan hal tersebut.
Pilar yang pertama adalah pemerintah negara Indonesia. Keputusan yang
sudah disepakati pada tataran politik global, akan menjadi sia-sia jika
tidak ditindaklanjuti dengan usaha pemerintah untuk menjalankan
keputusan. Pemerintah Indonesia sendiri sudah pernah membuat mekanisme
yang mengatur mengenai penghematan energi. PLN pernah membuat kebijakan
insentif untuk pelanggan yang mampu menurunkan konsumsi listrik. Namun,
hal ini tidak terlalu berjalan dengan mulus. Pemerintah masih harus
terus mencari dan merumuskan kebijakan yang membawa dampak nyata
terhadap pengurangan akan energi di masing-masing daerahnya.
Dunia industri adalah pilar yang kedua. Pihak yang satu ini
sering dituding sebagai penyebab utama timbulnya masalah pemborosan dan
krisis energi dunia. Keinginan alamiah manusia untuk mencapai
kesejahteraan, membuat industri saling berlomba (liberalisme)
untuk meningkatkan produksinya, yang secara langsung berkorelasi dengan
pemakaian energi. Namun, sangat tidak pantas jika kita hanya menyalahkan
industri akan borosnya pemakaian energi. Industri-industri tersebut
tidak akan dapat berjalan jika tidak ada peraturan dan kebijakan yang
mendukugnya. Artinya, secara tidak langsung, pemerintah sebagai pembuat
kebijakan juga turut berperan dalam pemborosan energi oleh pihak
industri.
Disinilah mulai terasa perlunya sinergi perencanaan antara berbagai
pihak. Pemerintah harus mampu untuk membuat kebijakan yang mendukung
industri untuk berkembang, sehingga kesejahteraan rakyatnya dapat
terjamin. Industri pasti juga berorientasi terhadap pengembangan
terus-menerus, karena sudah begitulah kodrat dari kaum kapitalis.
Diperlukan kerendahan dan kerelaan hati yang sangat tinggi dan mendalam
dari kedua belah pihak, industri dan pemerintah untuk duduk bersama
mencari jalan yang terbaik. Kesejahteraan harus dicapai, tetapi tanpa
mengakibatkan ancaman masa depan yang akan terjadi. Kebijakan-kebijakan
seperti insentif pajak untuk industri yang mampu menurunkan emisi GRK,
atau kebijakan ekstrim seperti pewajiban industri otomotif untuk
memproduksi mobil hibrid dalam jumlah tertentu, merupakan beberapa
contoh yang dapat diterapkan untuk menciptakan sinergi.
Pilar terakhir dalam usaha untuk menangani masalah energi dunia ini
adalah mahasiswa. Mahasiswa merupakan pilar terpenting untuk menangani
masalah ini karena mahasiswa merupakan pihak yang dapat terjun secara
langsung ke masyarakat dan mengidentifikasi setiap masalah yang ada
serta mencari solusi yang tepat. Namun sabagai pemakai energi juga,
mahasiswa perlu memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya
kepedulian terhadap krisis energi yang mungkin terjadi ini. Pada negara
maju, dengan tingkat pendidikan yang baik, kepedulian tersebut mudah
ditemukan pada setiap diri mahasiswa.
Keberadaan dan peran mahasiswa tidak dapat dipandang sebelah mata. Secara garis besar mahasiswa memiliki 4 tugas utama, yaitu; iron stock, agent of change, moral force, dan guardian of value.
Fungsi mahasiswa sebagai iron stock adalah untuk
menggantikan generasi lama yang pensiun di masa yang akan datang.
Mahasiswa harus bisa menggantikan posisi mereka, sebagai orang yang
memiliki kelebihan di suatu disiplin ilmu tertentu agar bisa memajukan
bangsa ini dengan disiplin ilmu yang digelutinya sekarang. Karena
sesungguhnya mahasiswa merupakan cikal bakal pemegang pucuk kepemimpinan
atau pemegang tongkat estafet kepemimpinan yang baik untuk negari ini.
Oleh sebab itu mahasiswa harus bisa mempersiapkan dirinya sebaik mungkin
sesuai dengan core competence yang dimiliki oleh masing-masing individu.
Fungsi sebagai agent of change adalah untuk membawa sebuah
perubahan. Merubah keadaan yang menyedihkan ini menjadi keadaan yang
jaya dan sejahtera. Merubah posisi keterpurukan bangsa ini menjadi
posisi kejayaan yang tinggi. Mahasiswa haruslah seorang aktivis
pergerakan yang tidak hanya berkoar menyuarakan suatu gagasan, tetapi
juga sebagai eksekutor dilaksanakanya suatu kegiatan yang bermanfaat,
seperti bakti sosial, seminar, desa binaan, dan lain sebagainya
khususnya dalam penanganan krisis energi di Indonesia ini.
Krisis energi yang sedang melanda bangsa ini dapat dihentikan dengan
adanya perubahan karakter bangsa. Dan solusi yang harus diterapkan oleh
para mahasiswa adalah menumbuhkan karakter yang baik agar kelak ketika
menjadi pemimpin bangsa, bisa menjadi pemimpin yang baik, karena energi
adalah hal yang sangat sakral, sehingga harus dipantau benar
kebermanfaatanya. Secara naruliah, mungkin ini adalah hal yang abstrak,
tetapi semua itu tidak bisa didapat dalam waktu yang singkat, butuh
waktu yang cukup lama untuk merubah kebiasaan yang buruk menjadi
kebiasaan yang baik.
Mahasiswa merupakan manusia yang berpendidikan. Dia bukanlah siswa
biasa. Dari segi namanya saja sudah diimbuhkan dengan maha. Kita ketahui
bersama bahwa maha berarti yang di atas segalanya dan tidak ada yang
menandingi. Berarti mahasiswa memiliki kewajiban lain selain sebagai
pencari ilmu. Dalam tataran kemasyarakatan mahasiswa berada dalam
tataran menengah. Mahasiswa berkewajiban untuk memedulikan apa yang ada
di bawahnya dan juga yang ada di atasnya. Mahasiswa harus peduli dengan
permasalahan bangsa.
Mahasiswa berperan sebagai moral force, dalam hal ini bila
telah terjadi sebuah penyelewengan yang merugikan masyarakat, maka
mahasiswa harus melawan penyelewengan tersebut dengan kekuatan moral.
Sebagai contoh memberikan tekanan dengan idealisme yang dimiliki.
Mahasiswa berperan sebagai guardian value, mahasiswa adalah
penjaga nilai-nilai kebaikan khususnya nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila yang sudah ada agar tidak termakan habis oleh
penyelewengan-penyelewengan nilai. Kenyataannya pengelolaan oleh lembaga
pemerintah kita ini dilaksanakan secara tidak adil dan penuh dengan
penyelewengan. Sudah sepantasnya dengan melihat fakta seperti ini
mahasiswa harus membuat nilai ini tetap terjaga sehingga keadilan tetap
berdiri tegak.
Peran-peran individu tersebut akan lebih kuat bila ditampung dalam
sebuah pergerakan mahasiswa. Pergerakan mahasiswa adalah kegiatan yang
dikerjakan oleh sekelompok mahasiswa demi tercapainya cita-cita bersama.
Pergerakan ini tidak bisa dilakukan oleh satu atau dua orang saja.
Pergerakan ini memerlukan keefektifan agar sebuah perubahan dapat
dilakukan dengan segera, agar permasalahan ini terpecahkan dengan
segera. Maka pergerakan ini membutuhkan massa yang banyak dan
berkualitas. Namun tidak hanya dengan massa yang banyak melainkan
kulitas yang tinggi.
Pergerakan mahasiswa dapat berupa banyak hal. Bisa berupa aksi turun
ke jalan (demonstrasi) untuk mengingatkan pemerintah terkait dengan
kemaslahatan rakyat Indonesia. Pergerakan mahasiswa tidak selalu aksi
turun ke jalan. Akan tetapi, pergerakan mahasiswa dapat juga berupa aksi
sosial. Akan tetapi, pergerakan mahasiswa sampai saat ini kurang
maksimal. Pergerakan mahasiswa terasa semakin kurang, baik dalam segi
kuantitas maupun kualitas. Hal ini perlu segera dibenahi karena bila
pergerakan mahasiswa mati maka kehancuran Indonesia tinggal menunggu
waktu.
Urgensi membangkitkan pergerakan mahasiswa yang mulai meredup sama
pentingnya dengan membangkitkan bangsa ini dari keterpurukannya.
Problematika yang sedang dihadapi dalam sebuah pergerakan mahasiswa
disebabkan oleh banyak hal. Alasan yang paling utama adalah karena
sistem akademis yang diterapkan cukup memberatkan para aktivis dan
sedikit demi sedikit mengebiri potensi gerakan mahasiswa. Penyakit
hedonisme yang sedang melanda sebagian mahasiswa menjadikan mereka
kurang berminat dengan pergerakan mahasiswa bahkan bersifat apatis
terhadap pergerakan mahasiswa. Karena biaya perkuliahan yang cukup mahal
menjadikan sebagian mahasiswa hanya terfokus pada hal akademis saja.
Namun jika dilihat dari sisi positifnya, dari akademis juga mahasiswa
dapat berperan untuk memberantas krisis energi ini. Dengan ilmu yang
didapat tersebut mahasiswa dapat berkreasi menciptakan alat penghemat
energi atau bahkan merekayasa kehidupan yang selama ini sangat
bergantung pada satu sumber energi dengan mencari jalan keluar dengan
penemuan energi alternatif lain.
Mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat Indonesia maka ia memiliki
kewajiban untuk membangun Indonesia. Seharusnya dengan keilmuan yang ia
miliki mahasiswa mampu membangun daerahnya masing-masing. Namun tidak
dapat disangkal, kebanyakan mahasiswa masih takut untuk menyuarakan
suara mereka karena tidak adanya dukungan dari masyarakat. Masyarakat
banyak menilai bahwa pergerakan mahasiswa sangatlah negatif. Tindakan
anarkis sering menghantui masyarakat. Oleh karena itu sangat diperlukan
sekali suatu tindakan untuk menghapus image negatif di mata masyarakat
tentang pergerakan mahasiswa. Sehingga disadari mahasiswa tidak dapat
bertindak sendiri jika masyarakat tidak mendukung.
Dengan melihat kenyataan itu, sepantasnya masing-masing pilar saling
bekerjasama dan menyadari perannya masing-masing. Ancaman terhadap
krisis energi ini sudah sedemikian besar, sehingga masing-masing pihak
seharusnya merasa malu, jika masih mengedepankan kepentingan pribadi,
tanpa mempedulikan ancaman besar terhadap umat manusia. Kita harus
memulai untuk bangkit dan sadar. Jika tataran politik global masih
mengagendakan kepentingan dan ambisi politik dari negara-negara besar.
Jika pemerintah hanya membuat kebijakan untuk kelanggengan jabatan
politisnya. Jika industri hanya mengejar keuntungan belaka. Dan jika
warga negara belum menyadari peran pentingnya, siap-siap saja umat
manusia menghadapi bencana krisis energi yang sungguh-sungguh memberikan
ancamannya yang luar biasa mengerikan.
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa, krisis energi di
Indonesia ini memang benar-benar terjadi. Di mulai dengan pengelolaan
yang kurang baik sehingga dikuasainya sumber-sumber energi oleh
korporasi asing, serta masyarakat yang tidak melakukan penghematan
energi. Namun tidak semua masalah ini merupakan tanggungjawab pemerintah
sepenuhnya, ketiga pilar harus saling bekerjasama untuk mencapai tujuan
yang diinginkan. Mahasiswa merupakan ujung tombak Negara untuk
memberantas krisis energi ini, karena mahasiswa memiliki fungsi sebagai iron stock , agent of change, moral force, serta guardian value.
Sehingga tindakan atau langkah nyata mahasiswa dalam berbagai hal
sesungguhnya sangat dinantikan dalam menangani krisis energi di negeri
tercinta ini.
Penulis : Yudi Guntara
REFERENSI:
Muhammad Malikul Adil.(2010). Peran Mahasiswa dalam Menghadapi Krisis Energi. Muhammadmalikuladil.blogger.com. Diakses tanggal 15 Oktober 2010.
Abdul Ghopur.(2010). Indonesia dan Krisis Energi. http://m.detik.com. Diakses tanggal 15 Oktober 2010.
Rita Eka Izzaty, dkk. (2008). Perkembangan Peserta Didik. Yogyakarta : UNY Press.
https://yudiguntara.wordpress.com/category/essay/
0 komentar:
Posting Komentar