Jumat, 11 November 2016

ESSAY Tentang FISIKA

Ada sebuah pertanyaan besar di negeri kita ini yang sampai sekarang masih selalu muncul dan terdengar di telinga setiap orang. Benarkah Indonesia mengalami krisis energi? Indonesia merupakan negeri yang kaya akan sumber daya alam (energi), sehingga masyarakat sesungguhnya tidak perlu “bekerja keras” dalam mengeksplorasi sumber daya alam tersebut.
Menurut Direktur Eksekutif Central Study 164, Abdul Ghopur,  mengatakan bahwa Indonesia mengalami krisis energi  karena kekayaan alamnya tidak dikelola dengan bijak, berkeadilan dan terpadu. Kebijakan energi nasional dikelola tanpa arah, antara satu sektor kebijakan dengan sektor lainnya seolah tidak ada keterkaitan, menyebabkan kekayaan  alam ini menjadi kutukan sumber daya alam (Resources Curse).
Belum adanya payung hukum (undang-undang induk energi) yang bisa mengatur kebijakan pengelolaan energi nasional secara komprehensif sehingga tidak semua masyarakat bisa mengeksplorasi  secara langsung sumber-sumber energi. Hanya kelompok tertentu saja yang secara mudah bahkan tanpa proses birokrasi yang rumit dapat mengeksplorasi sumber-sumber energi dan dieksploitasinya demi keuntungan pribadi. Energi bagi sebagian elit pengusaha dan pemerintah dipandang hanya sebatas angka-angka dan barang dagangan yang memberikan keuntungan lebih. Sedangkan bagi rakyat awam/ miskin energi merupakan sumber penghidupan utama yang wajib dipenuhi.
UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi telah meliberalisasi seluruh kegiatan usaha migas. Mulai dari sektor hulu hingga hilir membuat banyak perusahaan asing menanamkan modalnya di Indonesia dalam jumlah yang besar. Hampir 90% produksi minyak bumi di Indonesia dikuasai korporasi asing, yakni Total, Exxon Mobil, Vico, ConocoPhillips, BP, Petrochina, Chevron, dan korporasi lainnya.
Kesalahan pandangan pemerintah tentang kepemilikan liberal menyebabkan negara ini kian terpuruk dengan kebijakan-kebijakannya yang pro swasta/ asing. Pemerintah memahami bahwa kekayaan alam Indonesia tidak terkecuali migas adalah komoditas yang bisa dimiliki oleh siapa pun yang mampu (memiliki modal) untuk mengelolanya. Padahal, kekayaan yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah milik rakyat.
Disamping pengelolaan yang kurang tepat, pemerintah dinilai telah lalai dalam menghadapi kebijakan energi nasional, sehingga menyebabkan krisis energi di Indonesia. Demikian disampaikan oleh Anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Amanat Nasional Catur Sapto Edy kepada wartawan dalam jumpa pers di Gedung MPR-DPR Senayan, Jakarta. Jika memang tidak lalai, pemerintah seharusnya telah membentuk dewan energi nasional yang akan mengurus seluruh kebijakan energi, tentunya dengan payung hukum UU energi. Sehingga pemerintah tidak perlu repot memikirkan harga minyak mentah di pasar dunia yang terus melambung.”DPR sudah mengesahkan UU energi pada 2007. Seharusnya dalam waktu enam bulan pemerintah telah membentuk dewan energi, tapi nyatanya sampai saat ini belum ada.”
Berangkat dari pemikiran tersebut di atas, maka perlu dicarikan solusi konkret untuk menangani persoalan-persoalan tersebut. Sebab, krisis energi masih merupakan persoalan mendasar bangsa ini. Model pengelolaan energi tidak bisa lagi serampangan dan ngawur seperti saat ini.
Pemerintah harus benar-benar memprioritaskan pengelolaan energi nasional khususnya bagi rakyat kecil. Pemerintah harus berani menegosiasikan ulang kontrak-kontrak migas terhadap kepentingan pemodal asing yang didukung oleh negara-negara Kapitalis yang merugikan bangsa ini. Politik energi nasional saat ini harus dikendalikan oleh pemerintah Indonesia secara penuh dan berdaulat atau bahkan dengan kepemimpinan yang berani  mengadakan suatu “Nasionalisasi Industri” di negeri Indonesia ini. Sehingga industri asing yang menguasai sumber-sumber energi diambil alih seluruhnya oleh negara, seperti yang dilakukan oleh negara Bolivia, Columbia, dll. Negara diharuskan mengelola kekayaan alam negeri ini sebaik-baiknya dan 100% hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Bila negara belum mampu secara mandiri mengelolanya maka negara boleh menyewa tenaga asing. Namun, kontrak yang ada bukanlah Production Sharing Contract seperti saat ini, namun tenaga ahli di sini adalah sebagai pekerja. Mereka tidak mendapatkan hasil pengelolaan (migas dan barang tambang lain). Namun, digaji oleh pemerintah atas pekerjaanya. Jadi, 100% hasil pengelolaan SDA dikembalikan kepada masyarakat. Mekanisme kepemilikan yang benar ini tidak ada dalam paradigma kapitalis yang digunakan oleh pemerintah sekarang ini.
Sedangkan selama ini pemerintah begitu gegabah dan ugal-ugalan mengelola permasalahan energi. Sumber daya alam dikelola secara zig-zag. Sumber dan hasil energi seenaknya dijual pemerintah untuk penyediaan energi dunia. Sementara kondisi penyediaan energi di dalam negeri belum mampu diberikan secara lebih baik. Kebijakan terus bergulir, politik tetap menari liar, sementara rakyat miskin masih tak pernah merasakan nikmatnya kekayaan alam negerinya. Arah yang tidak jelas dalam perjalanan politik energi negeri ini telah menyisakan krisis energi di masa kini dan mendatang.
Dalam penyelesaian krisis energi di negeri ini diperlukan suatu konsep keterlibatan dan penyelamatan. Konsep ini dapat dikelompokkan menjadi tiga macam pilar yang terlibat yaitu: 1) Pilar pemerintah negara Indonesia; 2) pilar industri; 3) pilar warga negara dengan menitikberatkan kepada mahasiswa. Meskipun belum dinyatakan secara eksplisit keterlibatan peran dan tanggung jawab dari ketiga pihak tersebut, ketiga pihak ini yang selama ini berperan besar terhadap krisis energi yang terjadi. Oleh karena itu, harus diciptakan sebuah mekanisme yang dapat menjamin lancarnya kerjasama antar pihak untuk menyelamatkan dunia dari ancaman krisis energi.
Masalah krisis energi tidak dapat diselesaikan, jika masing-masing pihak mencoba mencari jalan keluarnya sendiri-sendiri. Contoh yang paling mudah adalah  warga negara tidak akan bersedia menjalankan perilaku hemat energi, jika pemerintahnya tidak membuat kebijakan yang berkaitan dengan hal tersebut.
Pilar yang pertama adalah pemerintah negara Indonesia. Keputusan yang sudah disepakati pada tataran politik global, akan menjadi sia-sia jika tidak ditindaklanjuti dengan usaha pemerintah untuk menjalankan keputusan. Pemerintah Indonesia sendiri sudah pernah membuat mekanisme yang mengatur mengenai penghematan energi. PLN pernah membuat kebijakan insentif untuk pelanggan yang mampu menurunkan konsumsi listrik. Namun, hal ini tidak terlalu berjalan dengan mulus. Pemerintah masih harus terus mencari dan merumuskan kebijakan yang membawa dampak nyata terhadap pengurangan akan energi di masing-masing daerahnya.
Dunia industri adalah pilar yang kedua. Pihak yang satu ini sering dituding sebagai penyebab utama timbulnya masalah pemborosan dan krisis energi dunia. Keinginan alamiah manusia untuk mencapai kesejahteraan, membuat industri saling berlomba (liberalisme) untuk meningkatkan produksinya, yang secara langsung berkorelasi dengan pemakaian energi. Namun, sangat tidak pantas jika kita hanya menyalahkan industri akan borosnya pemakaian energi. Industri-industri tersebut tidak akan dapat berjalan jika tidak ada peraturan dan kebijakan yang mendukugnya. Artinya, secara tidak langsung, pemerintah sebagai pembuat kebijakan juga turut berperan dalam pemborosan energi oleh pihak industri.
Disinilah mulai terasa perlunya sinergi perencanaan antara berbagai pihak. Pemerintah harus mampu untuk membuat kebijakan yang mendukung industri untuk berkembang, sehingga kesejahteraan rakyatnya dapat terjamin. Industri pasti juga berorientasi terhadap pengembangan terus-menerus, karena sudah begitulah kodrat dari kaum kapitalis. Diperlukan kerendahan dan kerelaan hati yang sangat tinggi dan mendalam dari kedua belah pihak, industri dan pemerintah untuk duduk bersama mencari jalan yang terbaik. Kesejahteraan harus dicapai, tetapi tanpa mengakibatkan ancaman masa depan yang akan terjadi. Kebijakan-kebijakan seperti insentif pajak untuk industri yang mampu menurunkan emisi GRK, atau kebijakan ekstrim seperti pewajiban industri otomotif untuk memproduksi mobil hibrid dalam jumlah tertentu, merupakan beberapa contoh yang dapat diterapkan untuk menciptakan sinergi.
Pilar terakhir dalam usaha untuk menangani masalah energi dunia ini adalah mahasiswa. Mahasiswa merupakan pilar terpenting untuk menangani masalah ini karena mahasiswa merupakan pihak yang dapat terjun secara langsung ke masyarakat dan mengidentifikasi setiap masalah yang ada serta mencari solusi yang tepat. Namun sabagai pemakai energi juga, mahasiswa perlu memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya kepedulian terhadap krisis energi yang mungkin terjadi ini. Pada negara maju, dengan tingkat pendidikan yang baik, kepedulian tersebut mudah ditemukan pada setiap diri mahasiswa.
Keberadaan dan peran mahasiswa tidak dapat dipandang sebelah mata. Secara garis besar mahasiswa memiliki 4 tugas utama, yaitu; iron stock, agent of change, moral force, dan guardian of value.
Fungsi mahasiswa sebagai iron stock adalah untuk menggantikan generasi lama yang pensiun di masa yang akan datang. Mahasiswa harus bisa menggantikan posisi mereka, sebagai orang yang memiliki kelebihan di suatu disiplin ilmu tertentu agar bisa memajukan bangsa ini dengan disiplin ilmu yang digelutinya sekarang. Karena sesungguhnya mahasiswa merupakan cikal bakal pemegang pucuk kepemimpinan atau pemegang tongkat estafet kepemimpinan yang baik untuk negari ini. Oleh sebab itu mahasiswa harus bisa mempersiapkan dirinya sebaik mungkin sesuai dengan core competence yang dimiliki oleh masing-masing individu.
Fungsi sebagai agent of change adalah untuk membawa sebuah perubahan. Merubah keadaan yang menyedihkan ini menjadi keadaan yang jaya dan sejahtera. Merubah posisi keterpurukan bangsa ini menjadi posisi kejayaan yang tinggi. Mahasiswa haruslah seorang aktivis pergerakan yang tidak hanya berkoar menyuarakan suatu gagasan, tetapi juga sebagai eksekutor dilaksanakanya suatu kegiatan yang bermanfaat, seperti bakti sosial, seminar, desa binaan, dan lain sebagainya khususnya dalam penanganan krisis energi di Indonesia ini.
Krisis energi yang sedang melanda bangsa ini dapat dihentikan dengan adanya perubahan karakter bangsa. Dan solusi yang harus diterapkan oleh para mahasiswa adalah menumbuhkan karakter yang baik agar kelak ketika menjadi pemimpin bangsa, bisa menjadi pemimpin yang baik, karena energi adalah hal yang sangat sakral, sehingga harus dipantau benar kebermanfaatanya. Secara naruliah, mungkin ini adalah hal yang abstrak, tetapi semua itu tidak bisa didapat dalam waktu yang singkat, butuh waktu yang cukup lama untuk merubah kebiasaan yang buruk menjadi kebiasaan yang baik.
Mahasiswa merupakan manusia yang berpendidikan. Dia bukanlah siswa biasa. Dari segi namanya saja sudah diimbuhkan dengan maha. Kita ketahui bersama bahwa maha berarti yang di atas segalanya dan tidak ada yang menandingi. Berarti mahasiswa memiliki kewajiban lain selain sebagai pencari ilmu. Dalam tataran kemasyarakatan mahasiswa berada dalam tataran menengah. Mahasiswa berkewajiban untuk memedulikan apa yang ada di bawahnya dan juga yang ada di atasnya. Mahasiswa harus peduli dengan permasalahan bangsa.
Mahasiswa berperan sebagai moral force, dalam hal ini bila telah terjadi sebuah penyelewengan yang merugikan masyarakat, maka mahasiswa harus melawan penyelewengan tersebut dengan kekuatan moral. Sebagai contoh memberikan tekanan dengan idealisme yang dimiliki.
Mahasiswa berperan sebagai guardian value, mahasiswa adalah penjaga nilai-nilai kebaikan khususnya nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang sudah ada agar tidak termakan habis oleh penyelewengan-penyelewengan nilai. Kenyataannya pengelolaan oleh lembaga pemerintah kita ini dilaksanakan secara tidak adil dan penuh dengan penyelewengan.  Sudah sepantasnya dengan melihat fakta seperti ini mahasiswa harus membuat nilai ini tetap terjaga sehingga keadilan tetap berdiri tegak.
Peran-peran individu tersebut akan lebih kuat bila ditampung dalam sebuah pergerakan mahasiswa. Pergerakan mahasiswa adalah kegiatan yang dikerjakan oleh sekelompok mahasiswa demi tercapainya cita-cita bersama. Pergerakan ini tidak bisa dilakukan oleh satu atau dua orang saja. Pergerakan ini memerlukan keefektifan agar sebuah perubahan dapat dilakukan dengan segera, agar permasalahan ini terpecahkan dengan segera. Maka pergerakan ini membutuhkan massa yang banyak dan berkualitas. Namun tidak hanya dengan massa yang banyak melainkan kulitas yang tinggi.
Pergerakan mahasiswa dapat berupa banyak hal. Bisa berupa aksi turun ke jalan (demonstrasi) untuk mengingatkan pemerintah terkait dengan kemaslahatan rakyat Indonesia. Pergerakan mahasiswa tidak selalu aksi turun ke jalan. Akan tetapi, pergerakan mahasiswa dapat juga berupa aksi sosial. Akan tetapi, pergerakan mahasiswa sampai saat ini kurang maksimal. Pergerakan mahasiswa terasa semakin kurang, baik dalam segi kuantitas maupun kualitas. Hal ini perlu segera dibenahi karena bila pergerakan mahasiswa mati maka kehancuran Indonesia tinggal menunggu waktu.
Urgensi membangkitkan pergerakan mahasiswa yang mulai meredup sama pentingnya dengan membangkitkan bangsa ini dari keterpurukannya. Problematika yang sedang dihadapi dalam sebuah pergerakan mahasiswa disebabkan oleh banyak hal. Alasan yang paling utama adalah karena sistem akademis yang diterapkan cukup memberatkan para aktivis dan sedikit demi sedikit mengebiri potensi gerakan mahasiswa. Penyakit hedonisme yang sedang melanda sebagian mahasiswa menjadikan mereka kurang berminat dengan pergerakan mahasiswa bahkan bersifat apatis terhadap pergerakan mahasiswa. Karena biaya perkuliahan yang cukup mahal menjadikan sebagian mahasiswa hanya terfokus pada hal akademis saja. Namun jika dilihat dari sisi positifnya,  dari akademis juga mahasiswa dapat berperan untuk memberantas krisis energi ini. Dengan ilmu yang didapat tersebut mahasiswa dapat berkreasi menciptakan alat penghemat energi atau bahkan merekayasa kehidupan yang selama ini sangat bergantung pada satu sumber energi dengan mencari jalan keluar dengan penemuan energi alternatif lain.
Mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat Indonesia maka ia memiliki kewajiban untuk membangun Indonesia. Seharusnya dengan keilmuan yang ia miliki mahasiswa mampu membangun daerahnya masing-masing. Namun tidak dapat disangkal, kebanyakan mahasiswa masih takut untuk menyuarakan suara mereka karena tidak adanya dukungan dari masyarakat. Masyarakat banyak menilai bahwa pergerakan mahasiswa sangatlah negatif. Tindakan anarkis sering menghantui masyarakat. Oleh karena itu sangat diperlukan sekali suatu tindakan untuk menghapus image negatif di mata masyarakat tentang pergerakan mahasiswa. Sehingga disadari mahasiswa tidak dapat bertindak sendiri jika masyarakat tidak mendukung.
Dengan melihat kenyataan itu,  sepantasnya masing-masing pilar saling bekerjasama dan menyadari perannya masing-masing. Ancaman terhadap krisis energi ini sudah sedemikian besar, sehingga masing-masing pihak seharusnya merasa malu, jika masih mengedepankan kepentingan pribadi, tanpa mempedulikan ancaman besar terhadap umat manusia. Kita harus memulai untuk bangkit dan sadar. Jika tataran politik global masih mengagendakan kepentingan dan ambisi politik dari negara-negara besar. Jika pemerintah hanya membuat kebijakan untuk kelanggengan jabatan politisnya. Jika industri hanya mengejar keuntungan belaka. Dan jika warga negara belum menyadari peran pentingnya, siap-siap saja umat manusia menghadapi bencana krisis energi yang sungguh-sungguh memberikan ancamannya yang luar biasa mengerikan.
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa, krisis energi di Indonesia ini memang benar-benar terjadi. Di mulai dengan pengelolaan yang kurang baik sehingga dikuasainya sumber-sumber energi oleh korporasi asing,  serta masyarakat yang tidak melakukan penghematan energi. Namun tidak semua masalah ini merupakan tanggungjawab pemerintah sepenuhnya, ketiga pilar harus saling bekerjasama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Mahasiswa merupakan ujung tombak Negara untuk memberantas krisis energi ini, karena mahasiswa memiliki fungsi sebagai iron stock , agent of change,  moral force, serta guardian value. Sehingga tindakan atau langkah nyata mahasiswa dalam berbagai hal sesungguhnya sangat dinantikan dalam menangani krisis energi di negeri tercinta ini.

Penulis : Yudi Guntara

REFERENSI:
Muhammad Malikul Adil.(2010). Peran Mahasiswa dalam Menghadapi Krisis Energi. Muhammadmalikuladil.blogger.com. Diakses tanggal 15 Oktober 2010.
Abdul Ghopur.(2010). Indonesia dan Krisis Energi. http://m.detik.com. Diakses tanggal 15 Oktober 2010.
Rita Eka Izzaty, dkk. (2008). Perkembangan Peserta Didik. Yogyakarta : UNY Press.
https://yudiguntara.wordpress.com/category/essay/

0 komentar:

Posting Komentar